Presiden Jokowidodo telah mengirim surat presiden (Surpres) revisi Undang - Undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi (UU KPK), Rabu 11 september 2019.
telah terjadi pelemahan terhadap KPK. Mulai dari point dalam revisi, hingga terpilihnya Firli sebagai capim (calon pimpinan) sekaligus ketua KPK.
Jokowi juga secara resmi telah memilih Menteri Hukum dan HAM, Yossana H. Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur negara dan Reformasi Birokrasi Syarifuddin mewakili pemerintah menyampaikan sikap dan pandangan terkait substansi revisi UU KPK yang diinisiasi DPR ini.
Meskipun Jokowi menyetujui pembahasan soal revisi UU KPK, tapi Jokowi juga menolak beberapa poin dalam draf yang disodorkan DPR.
berikut soal poin yang ditolak bapak Presiden Jokowidodo, antara lain; Soal izin pihak luar untuk penyadapan, penyidik dan penyelidik KPK hanya dari unsur kepolisian dan kejaksaan, koordinasi dengan kejaksaan Agung dalam hal penuntutan dan pengelolaan LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara Negara) yang dikeluarkan dari KPK.
Dan juga Jokowi menyetujui keberadaan dewan pengawas, peyadapan seizin dewan pengawas, kewenangan KPK mengeluarkan surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan menyetujui pegawai termasuk penyidik maupun penyelidik KPK harus berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).
Para penggerak Antikorupsi membuat surat di Yogyakarta pada 11 september 2019. dan juga ada beberapa pusat kajian Antikorupsi (pukat) yang bergabung adalah pusat kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada dan pusat studi Antikorupsi Universitas Mulawarman Kalimantan Timur.
Dalam surat tersebut pusat kajian Antikorupsi mengingatkan kembali akan pemberantasan korupsi adalah amanat Reformasi, dan amanat itu termuat dalam ketetapan MPR No XI/MPR/1998 "Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Dan Bebas KKN". dan tap MPR No VIII/MPR/2001 "Tentang Rekomondasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN".
Berikut adalah 10 persoalan point yang bermasalah dan nanti nya diperkirakan akan melemahkan KPK, antara lain;
1. Independensi Terancam, KPK tidak bisa disebut sebagai lembaga Independent yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, KPK dijadikan Lembaga Pemerintah pusat, Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN sehingga hal ini yang dapat beresiko terhadap keindependensian pegawai yang menangani kasus korupsi diinstansi pemerintahan.
2. Penyadapan dipersulit, Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas. Dilain sisi, dewan pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahun, selama ini penyadapan sering kali menjadi sasaran yang ingin sekali diperlemah melalui berbagai upaya, Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup, sehingga bukti – bukti dari penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi dan penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan, jelas sangat bertolak belakang dengan pengalaman KPK selama menangani kasus korupsi.
3. Pembentukan dewan pengawas yang dipilih oleh DPR, secara tidak langsung disini DPR ingin memperluas kekuasaannya yang tidak hanya memilih pemimpin KPK tetapi juga memilih dewan pengawas, Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin dengan dewan pengawas, seperti penyadapan, penyitaan dan penggeledahan.
4. Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, Penyelidik KPK berasal dari polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari polri dan PPNS. Hal ini juga bertentangan dengan pemutusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK yang dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Lembaga KPK dibeberapa Negara didunia telah menerapkan sumber terbuka penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti; CPIB di Singapura, ICAC diHongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga Antikorupsi di Sierra Lone. Selama ini penyelidikan dan penyedikan yang dilakukan KPK sudah berjalan Efektif dengan proses rekrutmen yang terbuka dari berbagai sumber.
5. Penuntutan perkara korupsi harus dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung, KPK harus berkoordinasi dengan kejaksaan agung dalam melanjutkan penuntutan korupsi. Dan lagi - lagi hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara
6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, Ketentuan yang sebelumnya diatur dipasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu : mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat. Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karna korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyakarat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil.
7. Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, yang hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan, KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagimana sekarang diatur pasal 9 UU KPK.
8. Kewenangan – kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, seperti Pelarangan keluar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi, meminta bantuan polri dan Interpol.
9. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan, KPK menetapkan suatu kasus penyidikan melalui proses yang sangat hati - hati karena tidak adanya penghentian penyidikan dan penuntutan. Melalui ketentuan tersebut akan menurunkan standar KPK dalam penangan kasus, penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai selama 1 tahun akan membuat potensi intervensi kasus menjadi rawan. Terlebih pada kasus yang besar serta menyangkut internasional proses penanganan akan sangat sulit menyelesaikan selama satu tahun. Tingkat kesulitan penangan perkara dari satu perkara keperkara lain bermacam – macam, sehingga mungkin saja ada perkara yang amat rumit sehingga butuh waktu lebih dari satu tahun untuk menanganinya. Tidak pernah ada aturan dalam sistem hukum acara pidana nasional yang mengatur bahwa suatu penyidikan/penuntutannya harus dihentikan jika selama jangka waktu tertentu proses penyidikan/penuntutan belum selesai, jadi aturan ini adalah aturan anomali yang sama sekali tidak mendukung tugas penegakan hukum KPK.
10. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas, pelaporan LHKPN dilakukan masing – masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelapor dan kewajaran kekayaan penyelenggara Negara. Posisi KPK direduksi hanya melakukan koordinasi dan supervise, selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelapor LHKPN disejumlah institusi.
telah terjadi pelemahan terhadap KPK. Mulai dari point dalam revisi, hingga terpilihnya Firli sebagai capim (calon pimpinan) sekaligus ketua KPK.
Jokowi juga secara resmi telah memilih Menteri Hukum dan HAM, Yossana H. Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur negara dan Reformasi Birokrasi Syarifuddin mewakili pemerintah menyampaikan sikap dan pandangan terkait substansi revisi UU KPK yang diinisiasi DPR ini.
Meskipun Jokowi menyetujui pembahasan soal revisi UU KPK, tapi Jokowi juga menolak beberapa poin dalam draf yang disodorkan DPR.
berikut soal poin yang ditolak bapak Presiden Jokowidodo, antara lain; Soal izin pihak luar untuk penyadapan, penyidik dan penyelidik KPK hanya dari unsur kepolisian dan kejaksaan, koordinasi dengan kejaksaan Agung dalam hal penuntutan dan pengelolaan LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara Negara) yang dikeluarkan dari KPK.
Dan juga Jokowi menyetujui keberadaan dewan pengawas, peyadapan seizin dewan pengawas, kewenangan KPK mengeluarkan surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan menyetujui pegawai termasuk penyidik maupun penyelidik KPK harus berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).
Para penggerak Antikorupsi membuat surat di Yogyakarta pada 11 september 2019. dan juga ada beberapa pusat kajian Antikorupsi (pukat) yang bergabung adalah pusat kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada dan pusat studi Antikorupsi Universitas Mulawarman Kalimantan Timur.
Dalam surat tersebut pusat kajian Antikorupsi mengingatkan kembali akan pemberantasan korupsi adalah amanat Reformasi, dan amanat itu termuat dalam ketetapan MPR No XI/MPR/1998 "Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Dan Bebas KKN". dan tap MPR No VIII/MPR/2001 "Tentang Rekomondasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN".
Berikut adalah 10 persoalan point yang bermasalah dan nanti nya diperkirakan akan melemahkan KPK, antara lain;
1. Independensi Terancam, KPK tidak bisa disebut sebagai lembaga Independent yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, KPK dijadikan Lembaga Pemerintah pusat, Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN sehingga hal ini yang dapat beresiko terhadap keindependensian pegawai yang menangani kasus korupsi diinstansi pemerintahan.
2. Penyadapan dipersulit, Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas. Dilain sisi, dewan pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahun, selama ini penyadapan sering kali menjadi sasaran yang ingin sekali diperlemah melalui berbagai upaya, Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup, sehingga bukti – bukti dari penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi dan penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan, jelas sangat bertolak belakang dengan pengalaman KPK selama menangani kasus korupsi.
3. Pembentukan dewan pengawas yang dipilih oleh DPR, secara tidak langsung disini DPR ingin memperluas kekuasaannya yang tidak hanya memilih pemimpin KPK tetapi juga memilih dewan pengawas, Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin dengan dewan pengawas, seperti penyadapan, penyitaan dan penggeledahan.
4. Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, Penyelidik KPK berasal dari polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari polri dan PPNS. Hal ini juga bertentangan dengan pemutusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK yang dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Lembaga KPK dibeberapa Negara didunia telah menerapkan sumber terbuka penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti; CPIB di Singapura, ICAC diHongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga Antikorupsi di Sierra Lone. Selama ini penyelidikan dan penyedikan yang dilakukan KPK sudah berjalan Efektif dengan proses rekrutmen yang terbuka dari berbagai sumber.
5. Penuntutan perkara korupsi harus dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung, KPK harus berkoordinasi dengan kejaksaan agung dalam melanjutkan penuntutan korupsi. Dan lagi - lagi hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara
6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, Ketentuan yang sebelumnya diatur dipasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu : mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat. Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karna korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyakarat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil.
7. Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, yang hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan, KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagimana sekarang diatur pasal 9 UU KPK.
8. Kewenangan – kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, seperti Pelarangan keluar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi, meminta bantuan polri dan Interpol.
9. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan, KPK menetapkan suatu kasus penyidikan melalui proses yang sangat hati - hati karena tidak adanya penghentian penyidikan dan penuntutan. Melalui ketentuan tersebut akan menurunkan standar KPK dalam penangan kasus, penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai selama 1 tahun akan membuat potensi intervensi kasus menjadi rawan. Terlebih pada kasus yang besar serta menyangkut internasional proses penanganan akan sangat sulit menyelesaikan selama satu tahun. Tingkat kesulitan penangan perkara dari satu perkara keperkara lain bermacam – macam, sehingga mungkin saja ada perkara yang amat rumit sehingga butuh waktu lebih dari satu tahun untuk menanganinya. Tidak pernah ada aturan dalam sistem hukum acara pidana nasional yang mengatur bahwa suatu penyidikan/penuntutannya harus dihentikan jika selama jangka waktu tertentu proses penyidikan/penuntutan belum selesai, jadi aturan ini adalah aturan anomali yang sama sekali tidak mendukung tugas penegakan hukum KPK.
10. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas, pelaporan LHKPN dilakukan masing – masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelapor dan kewajaran kekayaan penyelenggara Negara. Posisi KPK direduksi hanya melakukan koordinasi dan supervise, selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelapor LHKPN disejumlah institusi.
Kpk? Php-in aja
BalasHapus